PRO KONTRA PEMBATASAN BBM BERSUBSIDI
Menurut Menteri ESDM Jero Wacik, dalam keterangan pers di kementrian ESDM, Selasa (5/8) kemarin, agar masyarakat tidak usah resah dan berpendapat bahwa subsidi BBM di cabut dan harganya akan naik. Beliau juga menghimbau, bagi masyarakat yang telah mampu agar membeli BBM no subsidi.
Salah satu latar belakang Penjelasan menteri ESDM terkait Pengendalian BBM bersubsidi dalam siaran pers kemarin, Kenaikan volume BBM bersubsidi ini antara lain disebabkan oleh pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), dalam 3 tahun terakhir, rata-rata angka penjualan mobil mencapai 1,1 juta unit per tahun motor 7,6 unit per tahun. Sementara untuk tahun 2014, target penjualan mobil adalah 1,25 juta unit dan target penjualan motor 8 juta unit.
Sangat disayangkan, Kementrian ESDM tidak melihat bahwa bertambahnya penjualan kendaraan bermotor itu ada korelasinya dengan aturan mengenai LCGC ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
Dengan adanya kebijakan bebas pajak oleh pemerintah, maka daya beli masyarakat terhadap mobil murah akan semakin tinggi. Dampaknya adalah kemacetan akan bertambah parah khususnya di simpul-simpul kota besar Indonesia. Itu artinya akan bertambah pula penggunaan BBM dan polusi udara. memang LCGC adalah green car dengan tingkat emisi yang rendah, memang benar tingkat emisi LCGC rendah, tetapi tentu saja dengan kuantitas mobil yang tinggi maka penggunaan BBM akan semakin tinggi dan tentu saja merusak kandungan udara. Selain itu jenis mobil yang ada di Indonesia tidak semuanya rendah emisi, mobil yang diproduksi dibawah tahun 2010 masih banyak yang belum menerapkan teknologi low emissions, tetapi mobil-mobil tersebut masih bebas berkeliaran di sebagian besar jalanan Indonesia.
Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menilai kebijakan pembatasan solar tidaklah efektif karena menurutnya kebijakan tersebut tidak diterapkan secara merata. Menurutnya, kalau mau naik ya naikkan saja. Jangan hanya dibatasi, tapi di lokasi tertentu karena nanti mereka minggir ke SPBU lain. Pembatasan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar, menurutnya, hanya akan menimbulkan kesenjangan ekonomi bagi pengusaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
"SPBU yang ada di kota nanti akan teriak karena jadi sepi. Tapi, tentu saja kalau mau menaikkan harus ada kalkulasi, hitungannya harus ada, hitungan ekonomi, hitungan politik, dan dampak sosial juga harus dihitung," katanya.
Penolakan terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai pembatasan penjualan solar bersubsisi di SPBU dan juga kebijakan solar bersubsidi tidak dijual pada malam hari, jelas disampaikan oleh perusahaan otobus pariwisata dan Hiswana Migas DIY. Dimana kebijakan tersebut dinilai sangat merugikan perusahaan otobus yang selama ini mereka kelola.
"Kebijakan itu jelas mempengaruhi tarif, karena kami tidak bisa memberikan tarif untuk 3 atau 6 bulan ke depan," ujar Ketua Pariwisata-AKAP, Organda DIY, Hantoro di Yogyakarta.
Tambahnya lagi, bus yang kita miliki jalannya tidak siang hari, namun juga malam hari. Bayangkan jika siang menggunakan solar subsidi malam menggunakan solar non subsidi akan sangat repot sekali. Pemilik PO Otobus GG yang berlokasi di Imogiri, Bantul ini juga mengatakan, jika pemerintah melakukan pembatasan solar bersubsisi sebaiknya harganya dinaikkan saja. Sebab, lanjut dia, harga tersebut justru akan lebih memudahkan dalam iklim usaha, karena akan ada kejelasan harga sewa bus yang akan ditawarkan.
"Pemerintah harus jujur kepada rakyat kalau negara baru defisit. Jangan hanya pencitraan takut menaikkan harga BBM tapi membatasi BBM betsubsidi," tandasnya. Dengan situasi seperti ini dirinya bingung untuk menaikkan sewa bus untuk perjalanan 3 atau 6 bulan kedepan. Sebab dengan kebijakan pembatasan solar bersubsidi tersebut, pihaknya akan mengalami kerugian karena terikat dengan kontrak sebelumnya.
Organisasi Angkutan Darat (Organda) meminta pemerintah mencabut kebijakan pembatasan penjualan solar/premium bersubsidi dan segera membahas formulasi yang tepat untuk pengendalian subsidi bahan bakar minyak (BBM). Menurut Sekretaris Jenderal DPP Organda, Andriansyah, kebijakan pembatasan penjualan BBM bersubsidi yang tertuang dalam Surat Edaran BPH Migas No.937/07/Ka BPH/2014 tertanggal 24 Juli 2014, tidak tepat untuk diterapkan untuk saat ini.
"Kami harapkan ini dapat segera dilaksanakan, yakni sementara (penjualan) solar bersubsidi dikembalikan pada keadaan semula. Setelah itu, BPH Migas, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dan lain-lain duduk bersama untuk mengatasi situasi nasional, yakni kuota BBM bersubsidi sedikit sehingga tujuan untuk mengendalikan BBM bersubsidi bisa tepat," tuturnya seperti yang diberitakan harian Investor Daily, Jakarta, Rabu (6/8).
Andriansyah mengungkapkan, pemberian subsidi untuk bahan bakar solar sangat dibutuhkan bagi kendaraan umum. Sebaliknya, subsidi BBM untuk kendaraan pribadi semestinya yang dihapus. Dengan alasan, pembatasan penggunaan solar bersubsidi untuk angkutan umum berdampak snagat besar bagi angkutan umum yang beroperasi 24 jam.
"Dalam satu hari, angkutan umum tidak mungkin mengisi bahan bakar hanya satu kali. Saya kasih contoh bis penumpang umum harus mengisi solar 200 liter. itu untuk jarak tempuh 700 km dan waktu tempuh 8 jam. Artinya, dalam sehari, mereka bisa tiga kali mengisi bahan bakar. Kalau tidak ada BBM, kami resah," katanya.