IESR Rilis Laporan “Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: a Pathway to Zero Emissions by 2050”

SIAR.com, Jakarta – Di antara tahun 2000 dan 2020, perkembangan energi terbarukan berkembang sangat pesat dalam segi teknologi dan skala ekonomi, sehingga banyak negara di dunia semakin meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. Tercatat dalam 20 tahun ini, kapasitas pembangkit listrik terbarukan di seluruh dunia meningkat 3,7 kali lipat, dari 754 gigawatt (GW) menjadi 2.799 GW.
Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan terbaru berjudul “Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: a Pathway to Zero Emissions by 2050“.
Eksekutif Direktur IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, Indonesia secara teknis dan ekonomis mampu mencapai nir emisi di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2045. Jauh lebih cepat dibandingkan sektor transportasi dan industri yang mencapai kondisi yang sama pada 2050.
“Dibandingkan sektor transportasi dan industri, sektor ketenagalistrikan merupakan low hanging fruit dalam upaya dekarbonisasi sistem energi Indonesia. Untuk itu satu dekade ini sangat menentukan. Ada empat hal yang perlu terjadi dalam satu dekade mendatang: (1) akselerasi energy terbarukan, (2) penghentian pembangunan PLTU batubara baru sebelum 2025, (3) merencanakan percepatan penghentian PLTU terutama berjenis subcritical dan (4) modernisasi grid (jaringan),” ungkapnya di acara Media Briefing “Dekarbonisasi Sektor Ketenagalitrikan Menuju Emisi Nol” secara daring, Kamis (15/7).
Elektrifikasi sektor transportasi (akselerasi pemanfaatan kendaraan listrik/EV) dan industry (elektrifikasi proses industri), jelasnya, juga dimulai bersamaan dengan proses dekarbonisasi yang mendalam di sektor ketenagalistrikan. Sebagai akibatnya, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor ketenagalistrikan akan berkontribusi pada pengurangan emisi secara signifikan di sektor transportasi dan industri.
Menggunakan Skenario Kebijakan Terbaik (Best Policy Scenario/BPS), IESR menunjukkan bahwa permintaan listrik dari sektor transportasi dan industri, terus meningkat menuju tahun 2050. Sekitar 50% listrik diproduksi oleh energi terbarukan di tahun 2030 dari 140 GW pembangkit listrik energy terbarukan, sebelum akhirnya mencapai 100% energi terbarukan di tahun 2045. Di scenario tersebut, biaya pembangkitan listrik diratakan (levelized cost of electricity/LCOE) dapat turun dari 79,52 USD per megawatt per hour (MWh) di tahun 2020 menjadi 40,59 USD/MWh di tahun 2050 sehingga biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan di Indonesia menjadi semakin kompetitif.
Dengan mengandalkan energi surya (photovoltaic), terang Fabby, permodelan IESR memperlihatkan terjaminnya pasokan listrik, meskipun variabilitas pembangkitan listrik Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) cukup tinggi. Untuk menyeimbangkan kebutuhan beban dan pembangkitan PLTS, dapat dilakukan dengan pengisian baterai & pemanfaatan pumped hydro energy storage, pemanfaatan listrik untuk memproduksi bahan bakar bersih, pemanfaatan listrik untuk transportasi (pengisian EV), pemanfaatan listrik untuk memproduksi energi panas, dan melakukan ekspor-impor listrik antar regional. Pembangkit listrik tenaga air juga dapat dioperasikan secara fleksibel selama periode ini untuk membantu kesetimbangan sistem, sementara panas bumi beroperasi sebagai baseload.
Demi mengintegrasikan sektor transportasi maupun sektor industri melalui elektrifikasi, lanjutnya, tentu membutuhkan perluasan jaringan listrik yang massif yang mencakup seluruh daerah di Indonesia. Skenario BPS memperlihatkan bahwa hampir 760 Terrawatthour (TWh) listrik didistribusikan di seluruh negeri pada tahun 2050, dengan Pulau Jawa sebagai konsumen energi utama di Indonesia dengan mengkonsumsi 80% dari total energi di negara ini. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Pulau Jawa akan mengimpor listrik 4,6% pada tahun 2030, 45,5% pada tahun 2040 dan 82,1% pada tahun 2050 dari Pulau Sumatera dan Nusa Tenggara.
IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan kapasitas jaringan listrik Indonesia untuk mendukung sistem interkoneksi jaringan listrik antar pulau dan mengoptimalkan sumber daya energi terbarukan yang tersebar di berbagai pulau. Interkoneksi Jawa-Sumatera menjadi penting untuk memasok listrik ke Jawa hingga 50 persen di tahun 2050. Selain itu interkoneksi antara Jawa Timur dan Bali perlu diperluas ke Nusa Tenggara untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau-pulau kecil lainnya. Hasil model IESR bahkan menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi sebesar 158 gigawatt (GW) perlu dibangun untuk menghubungkan Indonesia dari barat ke timur.
“Pemerintah, perlu membuat keputusan hari ini, karena akan mempengaruhi kecepatan kita bertransisi dan besarnya ongkos yang akan kita keluarkan. Jika akan terus mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, padahal sudah banyak penelitian yang mengungkapkan hal tersebut akan menjadi stranded asset (aset terdampar), maka akan menjadi beban ekonomi bagi Indonesia. Padahal dekarbonisasi mendalam sistem energi untuk capai bebas emisi justru menguntungkan bagi Indonesia,” sambung penulis utama laporan “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050″ Pamela.
Perencanaan pembangunan jaringan transmisi dan interkoneksi antar pulau, paparnya, yang dapat mendukung Indonesia untuk mencapai target nir emisi di tahun 2050 sangat krusial untuk dilakukan secepatnya. Hal ini dikarenakan pembangunan proyek jaringan transmisi biasanya membutuhkan waktu lama. Tentu saja butuh komitmen yang tegas dari pemerintah, pengambil kebijakan, regulator, dan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator utama jalur transmisi dan distribusi.
Namun pada Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, Mei 2021, PLN mengemukakan pihaknya tengah menyusun rencana strategis bersama Kementerian ESDM untuk mencapai netral karbon di 2060. Hanya saja, hal tersebut tidak sejalan dengan target Persetujuan Paris untuk net zero emissions di tahun 2050.
“Rencana PLN ini masih kurang ambisius, untuk mencapai target Persetujuan Paris. Kajian IESR menunjukan sektor listrik, bisa capai zero emissions pada 2045 dengan memanfaatkan energy terbarukan. Justru rencana tersebut akan berisiko menyebabkan kenaikan biaya penyediaan listrik, stranded asset & lost opportunity untuk penggunaan teknologi energi terbarukan yang lebih murah,” kata Fabby Tumiwa.
Laporan “Deep decarbonization of Indonesia energy system: A pathway to zero emission by 2050” adalah studi IESR bekerjasama dengan Agora Energiewende, dan Lappeenranta University of Technology (LUT). Laporan tersebut dapat diunduh di tautan berikut:
https://iesr.or.id/en/pustaka/deep-decarbonization-of-indonesias-energy-system-a-pathway-to-zero-emissions-by-2050. (IESR/Setia Ade Amarullah)
Foto: EnArabSkyNews