Indonesia harus Bayar US$ 3 – 4 Miliar Saham Freeport

SIAR.Com, Jakarta — Pemerintah Indonesia akan membayar sebesar US$ 3 miliar hingga US$ 4 miliar untuk divestasi 51% (tepatnya sekitar 41,64%, karena saat ini Indonesia telah memiliki 9,36%) saham Freeport McMorant.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, apabila ini benar, maka Indonesia akan menjadi pecundang karena bersedia membayar sesuatu yang jauh di atas nilai wajar, sebab pada dasarnya sebagian besar aset yang dibayar tersebut adalah milik negara dan bangsa sendiri.
“IRESS menganggap nilai 41,64% saham yang dibayar untuk kewajiban divestasi sangat mahal, karena mestinya yang dijadikan rujukan perhitungan harga saham adalah periode Kontrak Karya (KK) tambang Freeport yang berakhir tahun 2021. Bukan periode KK hingga 2041 seperti yang diinginkan Freeport. Dengan masa berlaku KK yang tersisa hanya tinggal 3-4 tahun, maka nilai aset dan bisnis Freeport mestinya jauh lebih rendah dari US$ 3-4 miliar,” katanya melalui rilisnya kepada SIAR, Selasa (10/7).
Menurutnya, Dengan rujukan periode kontrak yang tinggal 3-4 tahun, maka IRESS yakin nilai 41,64% saham Freeport hanya berkisar US$ 1-1,5 miliar. Jika sanksi-sanksi hukum akibat kerusakan lingkungan yang nilainya sangat besar diperhitungkan, maka nilai yang harus dibayar negara untuk 41,46% saham
“IRESS berharap bisa lebih rendah harganya apalagi Freeport juga harus membayar sanksi akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Setidaknya dari informasi yang kami dapat, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengeluarkan lebih dari 40 sanksi akibat kerusakan lingkungan, karena penambangan yang serampangan, melanggar aturan dan mengabaikan tata penambangan yang baik dan benar. BPK pun telah menghitung nilai sanksi kerusakan lingkungan tersebut, yang besarnya ratusan triliun Rp,” tambahnya.
Untuk masalaha sanksi kerusakan lingkukan, IRESS beranggapan bukanlah aspek yang harus dinegosiasikan oleh Pemerintah Jokowi. Karena, UU dan peraturan tentang lingkungan telah dan masih berlaku, dan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh Freeport telah nyata terjadi! Karena itu, yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai negara berdaulat adalah penegakan hukum dan penagihan pembayaran sanksi oleh Freeport. Perlu diingatkan bahwa KLHK dan BPK adalah lembaga-lembaga negara yang keberadaan dan rekomendasinya dijamin konstitusi dan tidak ada satu lembaga atau perorangan pun yang boleh membangkang atau bisa memperoleh pengecualian.
Masalah sanksi lingkungan ini pun telah pernah dituntut dan dipaksa untuk dipatuhi Freeport oleh Menko Ekonmi Rizal Ramli pada Era Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Saat itu, bahkan Freeport telah setuju untuk membayar kompensasi sekitar US$ 3-5 miliar. Namun karena terjadinya pergantian pemerintahan, pembayaran sanksi tersebut “belum” terlaksana hingga sekarang. Selain sanksi kerusakan lingkungan, Freeport pun telah melanggar aturan penggunaan hutan dan untuk itu harus pula membayar sanksi kepada pemerintah.
Tambahnya, Tentu saja Freeport menginginkan nilai saham lebih tinggi, karena itu yang dijadikan acuan adalah periode KK hingga 2041. Padahal tidak ada ketentuan dalam KK yang mewajibkan Indonesia harus memperpanjang KK hingga 2041. Yang terjadi sebelumnya (pada awal 1990-an) adalah berbagai upaya dan rekayasa yang ditengarai telah dilakukan Freeport dan oknum pejabat untuk KK Baru yang seharusnya merupakan KK Perpanjangan. Implikasinya KK asli yang seharusnya berakhir pada 2021, kemudian di klaim oleh Freeport menjadi berakhir pada 2041.
Saat ini APBN Indonesia sangat terbatas dan kondisi ekonomi ekonomi rakyat yang terus menurun. Harapnya, pemerintah bisa dan harus meminta harga yang jauh lebih rendah.
IRESS berharapa kepada Presiden Jokowi agar tidak gegabah menyelesaikan negosiasi kontrak Freeport “at any cost”, demi mengejar target selesai dan berbagai kepentingan lain. Apalagi jika ada kepentingan perburuan rente atau sarat prilaku moral hazard! Harga saham Freeport harus ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek kedaulatan negara, wewenang untuk membuat keputusan konstitusional, menghitung nilai wajar bebas KKN, dan menerapkan sanksi-sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Proses penetapan harga saham harus pula melibatkan lembaga penegakan hukum seperti KPK, guna mendapatkan proses yang transparan dan tidak manipulatif, serta bebas kongkalikong dalam rangka mencari rente rente ekonomi. Kami ingatkan agar pemerintah dan pejabat-pejabat yang terlibat negosiasi untuk tidak menggadaikan tambang milik negara dan mengorbankan kepentingan rakyat hanya demi meraih rente dan kelanggengan kekuasaan.
Sementara Menteri ESDM Ignatius Jonan berjanji dalam setahun ini akan selesai secepatnya tetapi nyatanya kesepakatan belum juga tercapai.
“Dalam setahun terakhir telah lebih dari 4 kali menyatakan negosiasi akan selesai bulan ini, bulan itu, dst. Kita ingatkan Pemerintah RI yang dipimpin Presiden Jokowi untuk menggunakan otoritas yang dimiliki dan berupaya maksimal menyelesaikan negosiasi KK Freeport ini secara konstitusional, bebas KKN, bebas pencitraan dan bebas kepentingan politik pemilu. Jika penyelewengan masih terjadi, maka kesempatan untuk memulihkan kedaulatan negara dan martabat bangsa yang telah hilang selama setengah abad akan terlepas. Sehingga kita akan tetap menjadi negara pecundang, dan harus kembali menunggu puluhan tahun ke depan untuk bisa berdaulat di Tambang Timika…,” harapnya dengan tegas. (Sadea)
Foto : TucsonSentinel