Revisi UU Minerba Mengakomodasi Kontraktor

SIAR.Com, Jakarta — Rencana revisi UU Minerba No.4/2009 hingga saat ini masih belum rampung. Padahal rencana revisi UU tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR sejak 2016 sebagai UU perubahan. Pada April 2018 lalu, draf RUU Minerba juga beredar luas di masyarakat.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, draft UU Minerba pengganti itu ditenggarai lebih mengakomodasi kepentingan sejumlah kontraktor yang kontraknya akan berakhir dalam 2-3 tahun ke depan.
“Karena disinyalir lebih mengakomodasi kepentingan kontraktor, muncul protes dari sejumlah kalangan masyarakat. Ini yang menyebabkan ketidak-jelasan progress RUU Minerba hingga saat ini,” katanya di acara Seminar bertema ‘Pengelolaan Pertambangan Minerba Konstitusional’ di Hotel Ibis Tamarin Jakarta, Senin (11/2).
Lebih lanjut, Marwan mengaakan, RUU Minerba diharapkan menjadi titik tolak bagi perbaikan pengelolaan sumber daya alam (SDA) Minerba yang saat ini belum optimal, terutama dari sisi pengelolaan dan penerimaan negara. Berbagai aspek strategis, seperti kedaulatan negara, pembangunan keberlanjutan, optimasi pendapatan, ketahanan energi dan kelestarian lingkungan juga perlu terakomodasi dalam RUU Minerba.
“RUU Minerba diusulkan agar memuat ketentuan yang rinci tentang peran pengelolaan oleh BUMN, kepemilikan aset cadangan terbukti, penerimaan negara, skema kontrak, smelting domestik, wilayah kerja pertambangan, skema divestasi, penggunaan produk dan jasa dalam negeri, lingkungan hidup, serta manfaat bagi daerah dan masyarakat lokal,” tambahnya.
Dia juga berharap, dalam RUU Minerba yang baru agar ada cadangan terbukti Minerba yang menjadi bisnis negara yang pengelolaannya diberikan kepada BUMN terutama untuk jenis mineral strategis yang jumlah cadangannya besar.
Selain itu, Marwan juga mengharapkan, agar BUMN harus berperan sebagai custodian atas aset-aset cadangan SDA Minerba.
“Harapannya, BUMN tersebut bisa sebagai kustodian atas aset-aset cadangan SDA Minerba, sehingga SDA tersebut untuk dapat dimonetisasi guna kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pengembangan bisnis,” jelasnya.
Sementara itu, mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Simon F. Sembiring mengatakan, adanya niat untuk merevisi UU Minerba karena adanya kepentingan tertentu. UU Minerba tidak ada masalah tetapi peraturan turunannya (PP) yang “amburadul”
“Apabila ada penyakit di kaki, kenapa jantungnya yang dioperasi. Menurut saya, perbaiki aja kakinya. Mari kita berkepala dingin apabila perlu adanya Research and Development (R and D) menganalisa apa sih sebenarnya. Setelah itu, mari kita bicarakan sehingga nantinya mendapatkan sesuatu mengenai UU Minerba ini,” katanya.
Simon mengatakan, pengelolaan pertambangan Minerba yang konstitusional meliputi, pengelolaan mineral dan batubara harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dengan tujuan usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Peranan dalam penerimaan negara, kegiatan pertambangan mineral dan batubara mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Pelaksanaannya, menurut Simon, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara harus dilaksanakan secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan berwawasan lingkungan guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Eralaw, Ryad Khairil mengatakan, sebenarnya UU Minerba ini harus berjalan dulu karena banyak sekali pengaturan- pengaturan yang belum jalan, tetapi kemudian sulit diimplementasikan.
“Sebetulnya apabila dilihat draft RUU tidak banyak point-point yang harus diubah,” katanya.
Menurut Ryad, di UU Minerba ini terlihat jelas niat dari pembuat UU untuk memajukan masyarakat daerah. Namum persoalannya, ketika dilaksanakan terjadi penyimpangan-penyimpangan. Sehingga itu yang membuat carut marut implementasi UU Minerba.
“Banyak aspek UU Minerba yang seharusnya dijalankan, tetapi sulit berubah. Contohnya terkait dengan Freeport, seharusnya kontraknya dibiarkan habis terlebih dahulu dan ketika habis keinginan pembuat UU adalah lahan eks Freeport dikembalikan kepada negara. Nantinya negara yang memutuskan kepada siapa lahan eks Freeport itu diberikan,” tambahnya. (Setia Ade Amarullah)
Foto : SGS