Sub Holding BUMN dapat Perlincah Kinerja Perusahaan

SIAR.Com, Jakarta — Pemerintahan Joko Widodo melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan membentuk subholding sektor BUMN. Ini merupakan salah satu upaya menjadikan perusahaan modern sekaligus lebih relevan dengan perkembangan.
Dengan demikian, fleksibilitas usaha akan meningkat, dan fokus core business masing-masing BUMN akan semakin tajam. Tentunya, rencana ini harus diimbangi dengan kemampuan masing-masing BUMN untuk mengeksekusi kegiatan usahanya secara seksama dan menguntungkan, serta adanya kesepahaman bersama para anggota holding akan gambaran besar dari maksud pembentukan cluster–cluster ini.
Praktisi hukum dari firma hukum Dentons HPRP, Fabian Buddy Pascoal menjelaskan, BUMN di Indonesia membutuhkan struktur vertikal yang kuat karena masing-masing belum memiliki kemampuan membuat keputusan sendiri dan membutuhkan kepemimpinan di atas, yang kuat. Dengan adanya cluster–cluster ini, kemungkinan besar BUMN bakal lebih mampu membuat keputusan sendiri hingga bisa bereaksi secara lebih cepat dan lincah dalam menanggapi perubahan.
“Organisasi yang bisa survive zaman sekarang bukan lagi organisasi yang paling besar, paling pintar, dan paling kuat. Namun, organisasi yang paling cepat menanggapi perubahan, sehingga ia tetap relevan. Organisasi yang besar, dengan kepemimpinan sentralistik, cenderung tidak lincah dalam menghadapi perubahan,” kata Fabian melalui keterangan resminya, Kamis (5/3).
Pembuatan cluster–cluster ini, dinilai, juga merupakan langkah strategis dalam modernisasi organisasi BUMN di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Menteri BUMN Erick Tohir menyatakan, sebanyak 142 perusahaan BUMN akan digabungkan ke dalam 15 subholding yang ditangani kedua wakil menteri (Wamen) BUMN, di mana setiap Wamen akan mengelola tujuh sub–holding. Sementara itu, satu sub–holding tersisa akan terdiri atas BUMN yang tidak sehat. BUMN yang tidak sehat ini kemudian akan dievaluasi kembali apakah akan melakukan merger atau dilikuidasi.
Fabian mengingatkan, pemerintah juga harus memastikan bahwa BUMN-BUMN yang akan menjadi anggota sub–holding benar-benar mampu mengambil keputusan secara mandiri, di mana pelaku-pelaku di dalamnya memiliki loyalitas, integritas, dan keseksamaan. “Jadi, keputusan dibuat berdasarkan informasi selengkap mungkin (duty of care) dan untuk kepentingan perusahaan (duty of loyalty),” ujarnya.
Pembentukan subholding BUMN ini juga sempat memicu kekuatiran beberapa pihak atas dampak negatif yang mungkin bisa terjadi. Sebagai contoh, saat sub–holding BUMN perhotelan dibentuk, beberapa anggota mengeluhkan berkurangnya pendapatan dan menyusutnya aset-aset mereka.
Menurut Fabian, kekuatiran tersebut adalah hal yang lumrah pada masa transisi organisasi. Dia menekankan pentingnya kepemimpinan Menteri BUMN dalam memberi pengertian pada semua pihak terkait atas kebaikan bersama yang dimaksud melalui pembentukan sub-holding BUMN ini
Kekuatiran ini bisa dihindarkan, lanjutnya, bila Menteri BUMN duduk bersama dengan para pemangku kepentingan dan memastikan bahwa mereka berbagi secara strategis dan sinergis untuk suatu kepentingan dan kebaikan yang lebih besar (greater good) secara jangka panjang.
“Tiga hal yang harus diperhatikan pemerintah dalam rencana ini adalah bahwa para pemangku kepentingan mengerti big picture nya, rencana jangka panjang ke depannya, dan juga harus dipastikan bahwa compliance dan good corporate governance mengawal secara berkelanjutan,” jelas Fabian. . (Setia Ade Amarullah)
Foto : Republika